Beberapa hari ini saya
disibukkan oleh kehebohan tuduhan di media sosial pada dinding facebook seorang Ketua LSM: Dokter jaga
IGD RSUD Bangkinang menolak pasien miskin. Topik ini pasti sangat menarik dan
sensasional, sehingga kiriman tersebut memiliki ratusan suka, ratusan komentar
dan ratusan kali dibagikan serta menarik media, perwakilan rakyat dan para
pejabat pemerintah untuk menelisik masalah ini. Komentar yang muncul pada dinding facebook tersebut tidak
hanya soal kasus yang dituduhkan, namun juga terhadap keseluruhan pelayanan
RSUD Bangkinang sejak dahulu kala. Ibaratnya sama dengan emak-emak yang lagi
marah sama anaknya, semua disebut, mulai sejak anaknya lahir sampai usianya
saat emak tersebut marah. Kebayang kan, kalo emakmu lagi marah? Karena sangat
sensasional, maka tentu saja menguras energi dan waktu emak-ayahnya tim alias
manajer RSUD Bangkinang untuk menyelesaikan persoalan ini, mulai manajer struktural
sampai manajer fungsional.
Kasus orang miskin dan
pelayanan kesehatan sangat mudah dipolitisir untuk menarik simpati masyarakat.
Dalam setiap kampanye pemilihan kepala daerah dan pemilihan perwakilan rakyat
dalam semua tingkat, maka topik orang miskin dan pelayanan kesehatan tentu saja
memiliki prioritas yang tinggi untuk diusung. Menyadari hal ini, maka kami
sebagai manajer rumah sakit pemerintah selalu berhati-hati menghadapi gabungan
topik ini yang tentu saja menjadi semakin sensional, apalagi menjelang pemilu
legislatif dan presiden yang tidak beberapa lama lagi akan dilaksanakan. Semua
yang berkepentingan akan menunjukkan kepedulian mereka terhadap orang miskin
dan pelayanan kesehatan.
Rumah sakit milik
Pemerintah selalu dianggap kurang baik. Swasta selalu dianggap lebih hebat.
Sama halnya dengan anggapan buatan dalam negeri kurang berkualitas dibandingkan
dengan buatan luar negeri. Padahal bila kita ingin membandingkan sesuatu maka
pembandingnya harus setara. Seperti anak Sekolah Dasar tentu tidak mungkin
dibandingkan dengan mahasiswa Perguruan Tinggi. Begitupun Rumah Sakit Kelas C
tidak mungkin dibandingkan dengan Rumah Sakit Kelas A. Jelas sudah berbeda
kelas. Apakah rasional membandingkan pelayanan RS Kelas C dengan RS Kelas A,
seperti membandingkan anak SMP dengan mahasiswa? Tentu saja tidak rasional.
Menindaklanjuti Pasal
42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit maka
diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Pada Pasal 2 disebutkan:
(1) Pelayanan
kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan
kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan
kesehatan tingkat ketiga.
(2) Pelayanan
kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di
puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama,
klinik umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama.
(3) Dalam
keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan
kesehatan tingkat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
(5) Pelayanan
kesehatan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis
atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub spesialistik.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
tersebut dapat kita lihat bahwa pelayanan kesehatan memiliki tingkat sesuai
dengan kemampuan pelayanan.
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
membedakan rumah sakit berdasarkan penyelenggaranya, bentuknya, dan jenis
pelayanannya. Rumah sakit dapat didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau swasta. Berdasarkan bentuknya, rumah sakit dibedakan
menjadi Rumah Sakit menetap, Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah
sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit
Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan
pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya.
Rumah sakit berdasarkan
jenis pelayanannya dibedakan lagi berdasarkan klasifikasinya yaitu Kelas A,
Kelas B, Kelas C dan Kelas D. Penetapan klasifikasi rumah sakit didasarkan
pada:
a.
pelayanan;
b.
sumber
daya manusia;
c.
peralatan;
dan
d.
bangunan
dan prasarana.
Jenis pelayanan, peralatan, bangunan dan
sarana sangat berhubungan dengan sumber daya manusia pada masing-masing
klasifikasi. Tenaga yang selalu menjadi perhatian utama dari seluruh jenis
tenaga kesehatan untuk rumah sakit adalah jenis tenaga medis.
Tenaga medis untuk
Rumah Sakit Umum Kelas A paling sedikit terdiri atas:
a.
18
(delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b.
4
(empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c.
6
(enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d.
3
(tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e.
3
(tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f.
2
(dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
g.
1
(satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi
mulut.
Tenaga medis Rumah Sakit Umum
Kelas B paling sedikit terdiri atas:
a.
12
(dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 3
(tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c.
3
(tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d.
2
(dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e.
1
(satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f.
1
(satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
g. 1
(satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi
mulut.
Tenaga medis Rumah Sakit Umum
Kelas C paling sedikit terdiri atas:
a. a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan
medik dasar;
b.
2
(dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c.
2
(dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d.
1
(satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
dan
e. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
Tenaga medis Rumah Sakit Umum
Kelas D paling sedikit terdiri atas:
a.
4
(empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b.
1
(satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap
jenis pelayanan medik spesialis dasar.
Untuk lebih jelasnya tentang klasifikasi
ini, dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit.
Dari penjelasan ini
kita dapat menyimpulkan bahwa rumah sakit memiliki berbagai katagori, sehingga
apabila ingin membandingkan pelayanannya maka bandingkanlah rumah sakit yang
setara seluruh indikator standarnya. Masyarakat harus belajar adil sejak dalam
pikiran untuk menilai rumah sakit. Jangan menilai dengan kacamata kuda, menilai
dengan penutup pandangan yang telah ditentukan sendiri. Masyarakat harus adil
dalam membandingkan pelayanan RSUD Bangkinang dengan rumah sakit lainnya.
Pembandingnya harus setara dalam semua indikator yang harus dimiliki agar
perbandingan tersebut rasional. Membandingkan RSUD Bangkinag, RSUD Kelas C
milik Pemerintah, harus dengan pembanding yang setara dalam semua indikatornya.
Membandingkan RSUD Bangkinang dengan RS Siloam Jakarta, rumah sakit swasta Kelas A yang
berstandar internasional, atau RSCM, rumah sakit kelas A milik Pemerintah dan
berstandar internasional, pasti sangat tidak rasional, apalagi membandingkannya
dengan Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura.
Kembali pada pertanyaan
yang menjadi judul tulisan ini: Benarkah terjadi penolakan pasien miskin oleh
IGD RSUD Bangkinang? Untuk memahami hal ini secara rasional, maka kita harus
memahami tentang Standar Pelayanan IGD. Aturan yang menjadi dasar pelayanan IGD
adalah Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Klasifikasi
pelayanan Instalasi Gawat Darurat terdiri dari :
1. Pelayanan Instalasi Gawat
Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A.
2. Pelayanan Instalasi Gawat
Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas B.
3. Pelayanan Instalasi Gawat
Darurat Level II sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas C.
4. Pelayanan Instalasi Gawat
Darurat Level I sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D.
RSUD Bangkinang sebagai
Rumah Sakit Pemerintah Kelas C, menurut standar harus memiliki kemampuan pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II. Kemampuan pelayanan
Instalasi Gawat Darurat Level II adalah memberikan pelayanan sebagai berikut:
1. Diagnosis dan penanganan permasalahan pada:
A : Jalan nafas (Airway problem),
B : Pernafasan (Breathing problem) dan
C : Sirkulasi pembuluh
darah (Circulation problem).
2. Penilaian Disability, Penggunaan obat, EKG, defibrilasi
(observasi HCU)
3. Bedah cito.
Standar sumber daya
manusia untuk Instalasi Gawat Darurat Level II
adalah:
1. Dokter Spsialis Bedah, Obsgyn, Anak dan Penyakit Dalam: on
call;
2. Dokter Umum (telah mendapat pelatihan kegawatdaruratan:
GELS, ATLS, ACLS, dll): On site 24 jam;
3. Perawat Kepala S1/DIII (telah mendapat
pelatihan kegawatdaruratan: Emergency Nursing:
BTLS, BCLS dll): jam kerja;
4. Perawat (telah mendapat pelatihan Emergency Nursing): On site 24
jam; dan
5. Non Medis: Bagian Keuangan, Kamtib (24
jam), Pekarya (24 jam): On site 24 jam.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit, yang termasuk dalam Diagnosa Gawat Darurat terbagi
atas 9 (sembilan) jenis spesialisasi yaitu anak, bedah, kardiovaskuler,
kebidanan, mata, paru-paru, penyakit dalam, THT dan psikiatri. Karena diagnosisnya lumayan
banyak, untuk menghindari tulisan ini terlalu panjang maka dapat dibaca dalam
aturan tersebut.
Pelayanan kesehatan di
era Jaminan Kesehatan Nasional yang ditargetkan mulai tahun 2019 telah terwujud
Universal Health Coverage memiliki
aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Seluruh ketentuan yang telah
ditetapkan harus dipenuhi agar pasien yang dilayani dengan Jaminan Kesehatan
Nasional dengan penyelenggaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
(BPJS K) dapat disetujui klaim pembayarannya. Salah satu pelayanan yang tidak ditanggung
oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan yang tidak sesuai prosedur. Pelayanan yang
tidak sesuai prosedur adalah pelayanan yang tidak sesuai dengan berbagai macam
ketentuan yang berlaku.
Pasien yang meminta
atau membutuhkan pelayanan rumah sakit harus mengikuti alur rujukan sebagaimana
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001
Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, kecuali
pasien gawat darurat. Pelayanan pasien gawat darurat di IGD sesuai diagnosis
sebagaimana yang dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit.
Pasien yang disebut
dalam status facebook Ketua LSM
tersebut memiliki Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang tentu
saja terdata sebagai pasien Jaminan Kesehatan Nasional. Pasien Penerima
Jamkesmas dalam era JKN disebut pasien Penerima Bantuan Iuran (PBI) dijamin
oleh BPJS Kesehatan. Pasien tersebut memiliki surat rujukan dengan diagnosis
tidak termasuk katagori gawat darurat karena kecelakaan yang dialami pasien
telah terjadi 3 (tiga) tahun yang lalu. Apakah salah dokter puskesmas merujuk
pasien tersebut ke IGD? Tergantung alasan dan kondisi pasien tersebut dirujuk
ke IGD. Pasien dirujuk dokter puskesmas ke IGD dengan alasan sosial, namun
dalam ketentuan yang berlaku tidak terdapat alasan sosial sebagai indikasi
medis.
Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan pada Pasal 13, perujuk sebelum melakukan
rujukan harus:
a. melakukan
pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai
indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien
selama pelaksanaan rujukan;
b. melakukan
komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat
menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan
c. membuat
surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan.
Komunikasi merupakan
masalah yang selalu diperbincangkan dalam dunia pelayanan kesehatan. Karena
pentingnya komunikasi ini maka program pendidikan dokter melakukan perbaikan
kurikulum pendidikan. Hasil pendidikan dokter diharapkan dari waktu ke waktu semakin
membaik. Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 disebutkan
secara khusus tentang kemampuan komunikasi pada area kompetensi 3: Komunikasi
Efektif. Kemampuan komunikasi efektif dalam SDKI sebagai berikut:
1. Penggunaan
bahasa yang baik, benar, dan mudah dimengerti.
2. Prinsip
komunikasi dalam pelayanan kesehatan:
a. Metode
komunikasi oral dan tertulis yang efektif;
b. Metode
untuk memberikan situasi yang nyaman dan kondusif dalam berkomunikasi efektif;
c. Metode
untuk mendorong pasien agar memberikan informasi dengan sukarela;
d. Metode
melakukan anamnesis secara sistematis;
e. Metode
untuk mengidentifikasi tujuan pasien berkonsultasi; dan
f. Melingkupi
biopsikososiokultural spiritual.
3. Berbagai
elemen komunikasi efektif:
a. Komunikasi
intrapersonal, interpersonal dan komunikasi masa;
b. Gaya
dalam berkomunikasi;
c. Bahasa
tubuh, kontak mata, cara berbicara, tempo berbicara, tone suara, kata-kata
yang digunakan atau dihindari;
d. Keterampilan
untuk mendengarkan aktif;
e. Teknik
fasilitasi pada situasi yang sulit, misalnya pasien marah, sedih, takut, atau
kondisi khusus; dan
f. Teknik
negosiasi, persuasi, dan motivasi.
4. Komunikasi
lintas budaya dan keberagaman:
a. Perilaku
yang tidak merendahkan atau menyalahkan pasien, bersikap sabar, dan sensitif
terhadap budaya.
5. Kaidah
penulisan dan laporan ilmiah; dan
6. Komunikasi
dalam public speaking.
Ketika membaca standar
kemampuan dokter untuk berkomunikasi seperti tersebut di atas, tentu masyarakat
penerima pelayanan kesehatan mengharapkan seluruh dokter memiliki kemampuan
tersebut. Ini menjadi evaluasi kami dalam organisasi profesi dokter untuk
peningkatan kompetensi komunikasi efektif anggota sesuai standar yang berlaku. Apabila
dokter puskesmas mengkomunikasikan pada dokter IGD bahwa pasien tersebut memerlukan
keistimewaan pelayanan karena diurus oleh LSM, tentu keributan ini seharusnya
tidak terjadi. Meskipun tidak sesuai ketentuan yang berlaku bahwa semua pasien
diperlakukan sama sesuai dengan standar, kami manajer RSUD Bangkinang memilih
menghindari konflik dengan orang-orang tertentu yang merasa memiliki
keistimewaan untuk melakukan intimidasi terhadap tim kami yang berhadapan
langsung dengan mereka.
Terdapat juga
pernyataan ketua LSM yang perlu saya jelaskan dalam tulisan ini. Dalam surat
yang diserahkan Ketua LSM pada kami yang juga ditembuskan pada berbagai
instansi, tertulis: “Setibanya diruang
UGD pasien ditolak Dr.***** dengan alasan rekom dari puskesmas salah.” Narasi
ini sesuai surat yang diserahkan pada kami, dengan penyamaran nama oleh saya. Kata-kata
‘setibanya diruang UGD’ memiliki arti pasien sama sekali tidak dilakukan
prosedur apapun di IGD. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta bahwa
pasien telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter dan tim yang bertugas.
Terdapat perbedaan
persepsi Ketua LSM dengan standar pelayanan kedokteran tentang apa yang
dimaksud pemeriksaan. Ketua LSM menyatakan pasien telah diperiksa apabila telah
diambil darahnya. Menurut standar pelayanan kedokteran, penegakan diagnosis dilakukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis/anamnesa adalah suatu teknik pemeriksaan
yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya
secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan
medisnya. Anamnesa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
- Auto-anamnesa yaitu kegiatan
wawancara langsung kepada pasien karena pasien dianggap mampu tanya
jawab.
- Allo-anamnesa yaitu kegiatan wawancara
secara tidak langsung atau dilakukan wawancara/tanya jawab pada
keluarga pasien atau yang mengetahui tentang pasien.
Allo-anamnesa dilakukan karena:
a. Pasien
belum dewasa (anak-anak yang belum dapat mengemukakan pendapat
terhadap apa yang dirasakan);
b.
Pasien
dalam keadaan tidak sadar karena sesuatu;
c.
Pasien
tidak dapat berkomunikasi; atau
d.
Pasien
dalam keadaan gangguan jiwa.
Pemeriksaan fisik yaitu pengumpulan data dengan cara
melakukan pemeriksaan kondisi fisik dari pasien. Pemeriksaan fisik meliputi :
- Inspeksi, yaitu pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara melihat/memperhatikan keseluruhan tubuh pasien
secara rinci dan sistematis.
- Palpasi, yaitu pemeriksaan fisik
dengan cara meraba pada bagian tubuh yang terlihat tidak normal.
- Perkusi, yaitu pemeriksaan fisik
dengan mengetuk daerah tertentu dari bagian tubuh dengan jari atau alat,
guna kemudian mendengar suara resonansinya dan meneliti
resistensinya.
- Auskultasi, yaitu pemeriksaan fisik
dengan mendengarkan bunyi-bunyi yang terjadi karena proses fisiologi atau
patoligis di dalam tubuh, biasanya menggunakan alat bantu stetoskop.
Pemeriksaan penunjang yaitu suatu pemeriksaan medis yang
dilakukan atas indikasi tertentu guna memperoleh keterangan yang lebih lengkap.
Pemeriksaan penunjang ini bertujuan:
- Terapeutik, yaitu untuk pengobatan
tertentu.
- Diagnostik, yaitu untuk membantu
menegakan diagnosis tertentu.
Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, radiologi, elektromedik, dll. Pemeriksaan penunjang dilakukan
dokter atas indikasi medis sesuai kebutuhan.
Apakah setiap penyakit membutuhkan
pemeriksaan penunjang? Belum tentu. Karena tidak setiap jenis penyakit
membutuhkan pemeriksaan penunjang. Jadi pernyataan Ketua LSM bahwa pasien belum
diperiksa hanya karena pasien belum dilakukan pemeriksaan penunjang,
menunjukkan ketidakmengertian Ketua LSM terhadap standar pelayanan medis.
Persoalan pelayanan pasien miskin
ini berkembang menjadi serangan terhadap personal dokter berdasarkan asumsi.
Perlu kita sadari bersama bahwa dokter bekerja di rumah sakit berdasarkan
perintah Direktur. Untuk dapat menangani pasien maka dokter harus memiliki
dokumen Sertifikat Kompetensi, Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik.
Ketiga dokumen ini bukan dokumen yang terbit satu kali seumur hidup, namun
harus diperbarui setiap lima tahun. Untuk memperbarui dokumen tersebut maka
dokter harus mengikuti berbagai kegiatan, termasuk kegiatan ilmiah untuk
peningkatan ilmu dan kompetensi. Setelah memiliki dokumen tersebut maka dokter
akan dilakukan kredensial oleh Komite Medik. Kredensial adalah
proses evaluasi terhadap staf medis untuk menentukan kelayakan diberikan
kewenangan klinis (clinical privilege). Hasil proses
kredensial dikirimkan Komite Medik sebagai rekomendasi kepada Direktur untuk diberikan
surat penugasan klinis (clinical appointment) dan surat kewenangan
klinis (clinical privilege) kepada
dokter yang lolos proses kredensial. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit.
Serangan terhadap personal dokter tentu saja menyalahi
prosedur. Seluruh pelayanan rumah sakit merupakan tanggung jawab Direktur.
Apabila terdapat ketidakpuasan terhadap pelayanan rumah sakit, maka menjadi
tugas Direktur untuk melakukan perbaikan sesuai ekspektasi pelanggan. Kami
tentu saja menolak permintaan Ketua LSM untuk dipertemukan dengan dokter yang
dituduh, kecuali Ketua LSM menghadirkan semua saksi keluarga pasien yang datang
mendampingi pasien saat itu, maka kami juga akan menghadirkan semua tim yang
bertugas pada saat kejadian berlangsung. Hal ini agar semua saksi dapat
menyampaikan kesaksian saat kejadian tersebut. Tidak ada asumsi yang dibuat
sebagai kesimpulan. Namun Ketua LSM menolak mengumpulkan semua saksi kejadian.
Terakhir, berbicara tentang bagaimana RSUD
Bangkinang membantu orang miskin, tentu saja tidak muncul di media, karena
orang miskin tidak menggunakan facebook
dan media sosial lainnya. Kami juga tidak membutuhkan ucapan terima kasih dari
pasien miskin atau masyarakat luas. Kami hanya membutuhkan balasan dari Allah, Tuhan
semesta alam. Biarlah Allah yang membalas semua upaya tim, seperti dokter dan
tenaga lainnya yang membayarkan biaya darah untuk pasien yang perlu ditranfusi
namun tidak punya keluarga dan tidak punya uang, seperti dokter IGD yang
menelfonku hanya untuk meminta persetujuan menggratiskan orang miskin yang
datang ke IGD dan tidak memiliki jaminan kesehatan, seperti petugas yang berurusan
ke kantor lain untuk melengkapi dokumen pasien miskin yang tidak mengerti bagaimana
berurusan ke kantor pemerintah, seperti kepala ruangan atau case manager yang muncul ke ruang
kerjaku hanya untuk meminta saya menyetujui menggratiskan pasien rawat inap
yang tidak punya uang dan tidak memiliki dokumen
kependudukan, seperti tim yang tetap dengan sabar melayani orang terlantar yang
berbulan bahkan ada yang sampai lebih dua tahun kami mengurusnya tanpa dibayar. Biarlah
Allah yang menjadi saksi semua upaya yang telah dilakukan tim untuk membantu
orang miskin. Kami hanya berharap doa dari orang miskin agar kami semua selalu
sehat dan kuat untuk bekerja sehingga lebih banyak orang yang membutuhkan yang
dapat kami tolong. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar