Dua tahun lalu
aku mendapat informasi tentang keberadaan beberapa air terjun di Kampar Kiri
Hulu. Air terjun yang paling menantang untuk dikunjungi di Kampar Kiri Hulu
adalah air terjun Batang Kapas di Desa Lubuk Bigau. Sejak dua tahun lalu kami
telah merencanakan perjalanan menuju air terjun tertinggi kedua di Sumatera ini, tingginya lebih 150 meter.
Perjalanan menuju air terjun Batang Kapas di desa Lubuk Bigau menurut informasi yang ada menempuh
medan yang sangat sulit. Pemandu awal yang
aku minta mendampingi perjalanan kesana meragukan kemampuanku untuk menghadapi
kesulitan medan perjalanan. Mungkin karena keraguan tersebut dan sulitnya
kendaraan untuk kesana, maka aku tidak menerima informasi tindak lanjut
perjalanan.
Pada awal tahun
2016 Rani mengenal orang yang sangat memahami jalan ke air terjun Batang Kapas,
merupakan asli warga tempatan, ketua pemuda Kenagarian Pangkalan Kapas, Arika
Harmon. Kami kembali bersemangat untuk mengunjungi air terjun Batang Kapas. Namun
membaca berita tentang musibah banjir dan longsor yang menimpa 7 (tujuh) desa
yaitu Desa Deras Tajak, Desa Tanjung Karang, Desa Batu Sasak, Desa Pangkalan
Kapas, Desa Lubuk Bigau, Desa Tanjung Permai dan Desa Kebun Tinggi yang
mengakibatkan terisolirnya tujuh desa tersebut sejak akhir 29 November 2015,
maka kami harus menunggu kondisi jalan menuju desa Lubuk Bigau membaik.
Selama beberapa
bulan kondisi jalan menuju tujuh desa yang terisolir masih dilakukan perbaikan.
Ketika Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang dilaksanakan tanggal 8 – 15 Maret
2016, aku melihat kiriman foto melalui Facebook
oleh tenaga kesehatan yang bertugas di Desa Lubuk Bigau, Nuraisyah Rahmadina, tentang sulitnya medan
yang ditempuh untuk melakukan imunisasi. Kondisi jalan sangat buruk, sekalipun
untuk ditempuh dengan sepeda motor.
Kami
merencanakan perjalanan ke air terjun Batang Kapas pada liburan di bulan Maret
2016. Namun karena kondisi jalan masih sulit untuk ditempuh,
maka perjalanan tersebut akhirnya ditunda ke liburan di bulan Mei 2016.
Direncanakan kami berangkat tanggal 5 – 7 Mei 2016. Pada akhir
April 2016, saat Arika berada di Bangkinang pada sebuah acara momen Pilkada,
dia menyempatkan berkunjung ke rumah untuk membicarakan perjalanan ke air
terjun Batang Kapas. Termasuk juga menanyakan kesiapanku dan Rani terhadap
perjalanan sulit tersebut. Kami memastikan jumlah tim yang akan berangkat. Aku
dan Rani berbagi mengontak keluarga yang merencanakan ikut. Akhirnya kami
putuskan berangkat 5 (lima) orang, 4 (empat) perempuan dan 1 (satu) laki-laki. Arika
akan menyiapkan teman-temannya dan sepeda motor untuk menjemput dan mengantar
kami.
Beberapa hari
sebelum berangkat, Arika yang saat itu berada di RSUD Bangkinang meneleponku,
kebetulan aku sedang rapat dengan tim, aku menemuinya di rawat inap lantai 3,
di ruang Pejuang. Dia mengenalkanku dengan Kepala Desa yang kebetulan juga
sedang di RSUD Bangkinang menjenguk warganya yang sakit. Aku kembali memastikan
rencana keberangkatan. Sehari sebelum berangkat, Arika menelepon menyampaikan
agar aku tetap melanjutkan perjalanan seperti rencana walaupun dia tidak bisa
lagi ditelepon karena dia telah berada di daerah tanpa sinyal telepon.
Sore Rabu kami
mulai mempersiapkan keberangkatan yang direncanakan dimulai hari Kamis pukul 07.00 agar pukul 10 kami telah sampai di Tanjung Pati. Subuh Kamis kami saling
menelepon agar perjalanan sesuai rencana. Namun, terdapat kendala di luar
perencanaan sehingga kami mulai berangkat dari Bangkinang setelah pukul 08 dan
sampai di Tanjung Pati pada pukul 11 lewat. Kami berhenti untuk makan sebelum
melanjutkan perjalanan ke arah yang dituju. Setelah mengisi bensin, kami menuju
simpang Bukit Limbuku dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Buluh Kasok.
Perjalanan masih melewati jalan aspal sampai akhirnya di ujung desa kami
bertemu jalan tanah yang berlobang-lobang. Beberapa kilometer melewati jalan
berlobang, kemudian kami bertemu jembatan di atas sungai kecil. Arika telah
menunggu kami disana. Jembatan kayu tersebut telah rusak dan berlobang-lobang.
Karena kuatir, maka kami turun dari mobil dan sopirpun diambil alih Fuad.
Ternyata ban mobil pas berada di pinggir patahan kayu. Melihat kami turun dari
mobil, seorang ibu menyapa kami, mengatakan agar kami tak usah kuatir karena
biasanya truk juga lewat disana. Kami jadi ingat bahwa di jalan kami memang
sempat berselisih dengan truk.
Kami sampai di
sebuah warung tempat kami akan menitipkan mobil. Setelah shalat dan istirahat
sejenak, maka kami melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor. Kami melewati
jalan tanah berlobang-lobang mendaki dan menuruni bukit. Sopir sepeda motor
yang membawa kami merupakan orang-orang yang berpengalaman melewati medan sulit
tersebut, sehingga mereka membawa motor tetap dengan kecepatan tinggi. Aku
serasa naik motocross, namun pake
sepeda motor bebek. Kebayang gak?
Gambar 1. Jalan menuju Desa Lubuk Bigau, Kampar Kiri Hulu
Di bukit Angin-angin,
bukit perbatasan wilayah Sumatera Barat dengan Riau, kami beristirahat dan
menelepon keluarga, karena ini tempat terakhir dengan sinyal telepon yang cukup
bagus.
Gambar 2. Puncak Bukit Angin-angin arah keberangkatan
Gambar 3. Puncak Bukit Angin-angin arah tujuan
Gambar 4. Puncak Bukit Angin-angin arah tujuan
Kami
melanjutkan perjalanan di medan sulit ini. Melewati sungai dangkal dengan
menggunakan rakit.
Gambar 5. Penyeberangan dengan menggunakan rakit
Dalam
perjalanan kami berjumpa dengan para pemuda yang sedang latihan motocross di jalan yang kami tempuh.
Mereka berjumlah sekitar sepuluh sepeda motor yang memang standar untuk motocross. Kami sampai di Desa Lubuk
Bigau pada sore hari. Perjalanan menuju air terjun dilakukan besok harinya
setelah shalat Jumat. Pada pagi hari Jum`at kami bermain di sungai Batang Kapas yang
berada di desa Lubuk Bigau. Air sungainya jernih dan sungainya dangkal.
Gambar 6. Sungai Batang Kapas di Desa Lubuk Bigau
Gambar 7. Sungai Batang Kapas di Desa Lubuk Bigau
Sebelum
rombongan laki-laki ke mesjid untuk shalat Jum`at, maka kami diantar ke batas
lokasi terakhir yang bisa ditempuh sepeda motor. Kami istirahat, makan dan
shalat di pinggir sungai.
Gambar 8. Sungai Batang Kapas di ujung Desa Lubuk Bigau
Pukul 14
rombongan berdatangan ke tempat kami menunggu. Seluruhnya berjumlah 15 orang.
Setelah semua yang direncanakan mengikuti perjalanan ini berkumpul, maka kami
memulai perjalanan. Seorang Bapak yang mengantar anaknya mengatakan bahwa kami
akan sampai di air terjun pada pukul 20. Kami hanya tertawa mendengarnya.
Perjalanan
melewati sungai-sungai kecil dan hutan pakis terasa menyenangkan. Medan menjadi
sangat sulit bagiku ketika kami harus memanjat tangga kayu yang terjal, sudut
sekitar 100 derajat, dengan anak tangga berjarak sekitar 60 centimeter. Aku
kaget. Aku phobia ketinggian. Arika memang bercerita tentang tangga yang
akan dipanjat, tapi aku sama sekali tidak menduga kondisi tangganya sedemikian
sulit. Jumlah tangganya tidak banyak, hanya 7 (tujuh), namun tangga terakhir
menuju tanah jaraknya justru lebih dari 60 cm. Bila jarak antar tangganya 30 cm
maka tentu tidak terlalu sulit bagiku untuk menghadapinya. Rombongan kami yang
terdiri atas anak-anak dan Lala telah menghilang melanjutkan perjalanan.
Tinggal kami berlima. Mereka menyemangatiku untuk mengatasi ketakutanku. Dengan
penuh perjuangan akhirnya aku berhasil melewati rintangan tersebut.
Gambar 9. Sungai Batang Kapas dalam perjalanan menuju air terjun Batang Kapas
Gambar 10. Perjalanan menuju air terjun Batang Kapas
Jalan tanah
terjal yang harus didaki dengan kemiringan 100 derajat terdapat di beberapa
tempat. Alhamdulillah pada pukul 18 kami berhasil sampai di air terjun Batang
Kapas. Pemandangan yang indah membayar semua kesulitan dan lelah perjalanan. Rekamannya dapat dilihat disini.
Gambar 11. Air Terjun Batang Kapas, Desa Lubuk Bigau, Kec. Kampar Kiri Hulu, Kab. Kampar, Prov. Riau
Saat hutan
mulai gelap kami segera berjalan menuju tempat menginap malam itu. Dengan
bantuan senter kami melintasi hutan dan mendaki bukit menuju goa tempat
beristirahat.
Catatan perjalanan 5 – 6 Mei 2016.